Sabtu, 13 Februari 2016

Masa Puasa dan Sekolah Diri



PUASA  DAN  SEKOLAH DIRI

Gereja  menyediakan waktu  secara khusus dalam waktu panjang Lingkaran Tahun Gereja , bagi umat untuk menyempatkan diri,  melakukan refleksi atas semua tugas perutusan yang diemban  , melalui peristiwa yang disebut Masa Puasa. Masa puasa bagi umat Katolik selalu diawali dengan perayaan  Misa khusus ialah  Misa Hari Rabu Abu, dimana  pada hari tersebut setiap umat datang ke Gereja untuk mengikuti upacara misa, juga akan menerima  “ abu “  yang ditandai pada setiap dahi umat, sebagai simbol penyesalan diri, dan kefanaan seorang anak manusia.  Mengingatkan  bahwa ia  berasal dari abu dan akan  kembali menjadi abu setelah kamatianya.

Menjalani peristiwa puasa bagi umat Katolik,  maka seorang umat  katolik akan menjalani beberapa larangan sesuai hukum gereja, yakni  melakukan puasa pada hari Jumad Agung dan Hari Rabu Abu, disamping itu, mengurangi  makan  dan atau berusaha memutus sementara  atau bahkan seterusnya ketergantungan tubuhnya  atas beberapa hal  yang selama ini mengikat dirinya. Misal dalam keseharian seseorang memiliki ketergantungan terhadap kebiasaan mengisap  rokok,  maka selama masa puasa orang tersebut disarankan agar  berusaha  mengurangi  kebiasaan  merokok, yang wujudnya  berupa, jika selama hari – hari biasa seseorang biasanya  menghabiskan  3 bungkus rokok dalam sehari , maka selama masa puasa , dalam sehari, cukup menghabiskan 1 bungkus rokok. Jika pada hari-hari biasa ada kebiasaan untuk memfitnah orang, maka pada masa puasa hendaknya sikap itu dikurangi bahkan berusaha dihilangkan.

Jika dilihat, maka melakukan puasa bagi seorang Katolik,   lebih ringan. Mengapa?   Bagi orang Katolik,  puasa adalah sebuah kesempatan untuk berefleksi, melihat diri  dengan segala kehadirannya dalam tugas perutusannya di hari kemarin ,lalu  mensejajarkan dengan pesan-pesan moral hidup seorang katolik, sesuai dengan ajaran Tuhan Yesus.  Harapan dari refleksi tersebut adalah sebuah bentuk perubahan diri untuk menjadi lebih baik, dan atau lebih baik dari baik. Dengan kata lain maka,  esensi dari puasa itu adalah sebuah sekolah diri, sebuah belajar tentang diri untuk bagaimana  berubah ke arah hidup yang lebih baik sesuai ajaran Tuhan Yesus.

Merefleksi diri atau bercermin pada diri sendiri adalah sebuah hal yang sungguh sangat sulit dilakukan, karena disana kita berusaha menelanjangkan sikap diri agar dapat melihat lebih jauh dan menemukan seberapa hitam dan putih sikap hidup itu. Dalam suasana yang penuh kesibukkan dan ketergantungan pada hal-hal duniawi kita seakan menemukan betapa sulit  untuk belajar tentang diri sendiri, karena lebih mengandalkan akan kekuatan manusiawi belaka.   

Dalam masa puasa, seorang katolik di ajak untuk menarik diri, mengambil jarak terhadap segala bentuk ketergantungan diri pada hal-hal duniawi, yang membuat hidup ini seakan sudah segalanya, lalu menciptakan kegelapan hidup dalam kacamata rohani. Dalam kegelapan rohani itu manusia seakan merasa bahwa capaian hidup itu adalah karena kekuatan diri, manusia lupa bahwa kekuatan yang memberhasilkan hidupnya itu adalah berkat kehadiran Allah yang menitipkan kekuatan-Nya  pada dirinya. Sambil menarik diri dari segala ketergantungan, konsekuensinya adalah menciptakan lubang kosong hidup yang perlu diisi. 

Dalam masa puasa kita diberi cara dan jalan, berupa refleksi dan doa, agar kita dapat   dengan mudah menjalani retret  agung itu. Melalui refleksi dan doa, kita seakan diajak untuk membenamkan diri dalam kepasrahan agar Allah mau hadir memberi terang Roh Kudus untuk memampuhkan kita melihat, menemukan sisi –sisi gelap hidup yang selama ini tidak kita temukan sendiri. Kepasrahan total akan kehadiran Allah artinya membiarkan hidup ini di atur oleh Allah, seperti kata Santu paulus: “ Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih” ( Kol 1 : 13 ). Dalam suasana yang demikian hidup anak manusia yang diposisikan dalam dua kutub,   seakan menjadi sangat dekat walau jauh. Allah itu jauh tapi sungguh dekat, membuat hidup itu begitu kaya, penuh syukur.

Masa puasa  memberi kita sebuah masa belajar, dimana manusia berproses  untuk hidup dalam semangat doa, yang mana dalam semangat doa tersebut , manusia belajar untuk tidak secara meluluh  memusatkan perhatian pada diri sendiri,  melainkan juga belajar menyadari kehadiran Allah dalam keseluruhan dirinya. Karena Allah bukan hanya menciptakan kita, lalu meninggalkan kita  , melainkan menjadi Bapa kita yang penuh kasih menemani dan menjaga kita dengan penuh cinta.  Doa menjadi   media menemukan jalan kembali ke pusat diri kita secara utuh dan selaras, agar kita sanggup hidup dalam kedalaman hidup diri  kita, menerima hidup secara utuh penuh syukur walau apapun, dan membuat  kita lebih jujur terhadap hidup.

Lebih jujur menerima hidup artinya menerima hidup ini sebagai sebuah anugerah besar. Sebagai sebuah anugerah, maka apapun perolehan rejeki hidup dalam keseharian adalah atas kehendak Allah.  Bahwa hari ini belum berhasil dalam masalah, besok atau lusa  Allah akan memberhasilkan untuk mengatasi masalah. Atau bahwa hari ini belum mendapat lagi uang sebagai tambahan menyambung hidup keluarga dan anak-anak, hal itu patut menjadi sebuah syukur. Artinya Allah masih mengijinkan kita mengalami apa yang dialami oleh orang lain yang belum  memiliki uang banyak atau belum beruntung. Ketika kita hanya mampuh untuk membeli sebuah sepeda motor, hal itu patut disyukuri, karena syukur kita masih dijinkan memiliki sebuah sepeda motor.
Teringat pada cerita seorang pengojek sepeda motor, saat mengantar  dari pelabuhan Tenau Kupang menuju Lapangan Udara Eltari Kupang untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jawa, di atas kendaraan motor ia bercerita, bahwa suatu hari ia hanya mendapat sedikit rejeki   jika  dibanding dengan hari-hari yang lain. Saat hendak pulang ke rumah, dalam benak  ada bayangan perasaan yang kurang baik terhadap istri, lantaran seharian hanya mendapat sedikit  uang , sementara kebutuhan hidup sehari bersama istri dan anak jika dihitung tidak akan menutupi. Setiba di rumah, ketika menyodorkan hasil   mengojek tersebut, sambil menyampaikan kekecewaannya, di luar dugaan apa yang dikatakan istrinya, ya pak syukur masih mendapat rejeki walau hanya sedikit, toh besok lusa pasti di beri lebih oleh Tuhan. Sebuah ungkapan pengalaman hidup bagaimana itu bentuk jujur atas hidup. 

Jujur terhadap hidup juga berarti,  tidak membiarkan hidup kita berada dalam permainan psikologis, kekosongan diri yang bisa hadir dengan berbagai  bentuk kompensasi,   seperti suka merasa kekurangan, suka mengolok – olok orang lain, suka memfitnah orang lain, suka membenarkan diri sendiri, dan memposisikan orang lain selalu pada posisi yang tidak benar. Ketika ada orang lain atau tetangga atau teman sekantor mempunyai kelebihan, maka mulai memunculkan opini- opini negatip, atau berusaha menjadi pencuri dalam masalah hidup orang lain, artinya memanfaatkan masalah hidup orang ,  dengan menjadi hakim tanpa surat tugas, serta semua litani bentuk sikap negatip hidup yang lain yang membuat hidup diri kita tidak berahmat, dan berujung pada menjauhkan  orang lain dari rahmat Tuhan.

Harapan pada ujung masa puasa ini adalah benar-benar ada perubahan diri, sebagai hasil dari sebuah proses belajar, dengan indikator pada pengurangan terhadap sikap-sikap negatip dari hidup kita, entah banyak atau sedikit. Semoga masa puasa benar-benar menjadi momen belajar menerima diri secara utuh, serta momen belajar untuk  memposisikan diri selalu pada pihak yang lemah dan teraniaya, serta lebih bersyukur atas hidup. Amin. Semoga masa puasa menjadikan kita semakin jujur terhadap hidup, agar hidup kita senantiasa  menjadi rahmat bagi orang lain amin.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar